Friday, June 5, 2009

Ronggeng Dukuh Paruk




Sebut lima novel Indonesia terbaik, trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari pasti masuk daftar. Tapi, tahukah, bahwa novel "Ronggeng" yang selama ini beredar merupakan versi yang sudah dijinakkan oleh penguasa? Belum lama ini, setelah 17 tahun berlalu (pertama kali diterbitkan Gramedia pada 1986-Red.), karya trilogi itu diterbitkan ulang oleh penerbit yang sama menjadi satu buku, lengkap dengan bagian-bagian yang dulu tersensor selama 22 tahun.

"Ronggeng Dukuh Paruk", "Lintang Kemukus Dini Hari", dan "Jantera Bianglala" adalah novel trilogi. Tahun 2002 lalu, Yayasan Lontar menerbitkan trilogi tersebut dalam Bahasa Inggris di bawah judul "The Dancer" tanpa ada bagian yang disensor. Sebelumnya, teks-teks yang hilang dari "Ronggeng" versi Indonesia itu telah terbit di Swedia. Kini, setelah reformasi bergulir, Gramedia baru berani menerbitkan ulang trilogi tersebut, menjadi satu buku berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk" dengan mengembalikan bagian-bagian yang dulu hilang. Bagian tersebut tepatnya berada dalam buku "Lintang Kemukus Dini Hari", berupa kisah-kisah yang menggambarkan kekejaman Orde Baru ketika menghabisi orang-orang yang dituduh PKI.

Dalam novel trilogi ini terlukis dinamika kehidupan ronggeng di desa terpencil, Dukuh Paruk, yang semangatnya kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun silam. Bagi pendukuhan kecil, miskin, terpencil, dan besahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri.

Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini.

Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin melayani lelaki manapun. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terhempas, kali ini bahkan meluluh-lantakkan jiwanya, tanpa harkat secuil pun.

Srintil sudah membuktikan dirinya lahir untuk menjadi ronggeng Dukuh Paruk. Dan meskipun dalam tradisi, seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan diri dengan seorang lelaki, namun ternyata Srintil tak bisa melupakan Rasus. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak bisa menerima keadaan ini, dan berontak dengan caranya sendiri. Sikap ini menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan kepribadiannya. Dia tegar dan berani melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan, terutama dalam masalah hubungan antara seorang ronggeng dengan dukunnya.

Menjelang usai duapuluh kedirian Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik laki-laki yang tidak disukainya. Rasus sendiri merindukannya dalam dunia angan-angan dan Srintil merasa menang. Sementara dua pengalaman penting menggores lintasan hidupnya. Pertama, ketika dia harus menjalankan peran sebagai gowok. Kedua, ketika pada akhir potongan lintasan hidupnya secara tidak dimengerti oleh Srintil sendiri, ronggeng itu terlibat dalam kekalutan politik pada 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, dan masih sangat belia harus berhadapan dengan ketentuan sejarah yang sekali pun tak pernah dibayangkannya.
(www.figurpublik.com)

Unduh di boks samping.

No comments: